Filsafat dan agama


Biasanya, pada kuliah perdana mereka, dosen-dosen filsafat menjelaskan definisi filsafat dengan cara membanding-bandingkannya dengan agama dan sains, lalu menegaskan bahwa filsafat tidak membutuhkan sains dan agama; filsafat berdiri sendiri di atas sains dan agama; filsafat bahkan bertindak kritis atas sains dan agama.

Ketahuilah bahwa dosen-dosen seperti ini sudah memihak (partisan); mereka sudah tidak netral dan tidak adil; mereka sudah menggunakan definisi filsafat khas abad 18 di Dunia Barat sekuler, dimana Filsafat Barat sudah anti agama Katolik (agama resmi di Barat di jaman itu), sudah atheis dan sudah sekuler.

Padahal, masih banyak kok definisi filsafat yang lebih adil, netral, dan tidak partisan. Dalam buku ini menggunakan definisi filsafat yang sebisa-bisanya adil, netral, dan tidak partisan.

Surprisingly, definisi filsafat yang pertama-mula dan paling mula-mula dari Pythagoras (sekitar 582-507 sebelum Masehi) justru adalah definisi yang paling adil, paling netral, dan paling tidak partisan. Ketika Pythagoras ditanya ‘apakah Anda seorang yang bijak dan ilmuwan (sophos)? dia menjawab ‘aku hanya seorang pecinta kebijaksanaan dan pecinta ilmu (philosophos).

Kehidupan Pythagoras sebagai seorang philosophos (pecinta kebijaksanaan/ilmu) yang tidak berat sebelah pada satu jenis pengetahuan saja di antara tiga pengetahuan yang sudah ada di jamannya (yakni sains, filsafat, dan agama) tercermin dari tindak-tanduk selama hidupnya. Ia mendirikan satu komunitas. Mereka berpantang makanan (diet), menjalankan sejenis perayaan doa dan upacara, percaya akan terjadinya reinkarnasi, memainkan musik dan meneliti rahasia misteri angka-angka dan wujud-wujud angka di alam semesta.

Dari situ kita bisa nilai:
di komunitas itu Pythagoras sang philosophos bersama dengan murid-muridnya menjalankan sejenis agama dan sains dan tentu saja juga filsafat. Ketiganya menyatu dalam naungan ‘cinta kebijaksanaan’ (philosophy) yang ia jalani dalam hidupnya.

Setelah jaman Pythagoras, definisi philosophy (cinta kebijaksanaan) dan philosophos (orang yang pecinta kebijaksanaan) dipisah dari agama dan sains, lalu diperkecil lingkupnya. Apa contohnya? Mari kita baca satu definisi filsafat dari I. Frolov dalam bukunya Dictionary of Philosophy.

Dalam kamus filsafatnya itu, Frolov mendefinisikan filsafat sebagai satu ilmu yang mempelajari hukum-hukum umum daripada wujud (yaitu hukum-hukum umum tentang alam semesta dan masyarakat) dan penalaran manusia. Itu thok. Tak ada tambahan apa-apa lagi. Jadi, filsafat sudah terpisah dari agama dan dari sains.

Lalu, Frolov pun mendefinisikan agama (Katolik/Protestan) sebagai ‘refleksi fantastis tentang kekuatan-kekuatan eksternal yang menguasai manusia, yang tersimpan dalam jiwa manusia, di mana daya-daya alamiah disangka daya-daya adi-alamiah. Terakhir, Frolov mendefinisikan sains sebagai ‘lapangan penelitian yang ditujukan untuk menemukan pengetahuan yang lebih luas mengenai alam, masyarakat, dan pikiran.’

Begitulah Frolov mendefinisikan filsafat; ia memisah-misahkannya dari agama dan sains dengan pemisahan yang kaku, ketat, dan beku. Sungguh berbeda dengan definisi filsafat yang paling mula-mula, yang pertama kali diciptakan Pythagoras!

Dalam artikel ini, saya lebih memilih definisi filsafat Phythagoras dengan alasan tadi: lebih adil, lebih longgar, lebih netral, tidak partisan, tidak kaku, tidak beku, tidak kolot. Dengan menggunakan definisi filsafat dari Pythagoras, maka kita jadi dapat memasukkan tradisi filsafat yang terinspirasi dari ajaran relijius (Yahudi, Kristiani, Islam, Buddha, Hindu, Konghucu, dan lain-lain), yang terinspirasi dari Feminisme dan Queer Studies, terinspirasi dari budaya pop. Bahkan, kita juga bisa memasukkan tradisi filsafat yang terinspirasi dari ajaran-ajaran adat suku-suku pribumi (filsafat etnis, ethnophilosophy).
Terima kasih..


Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Ads Section