Mencari Keseimbangan: Tantangan & Kualitas Hafalan di Pesantren Al-Qur'an
Mari kita eksplorasi lebih dalam mengenai situasi di Pesantren Al-Qur'an X , di mana terjadi konflik menarik antara yayasan dan lembaga pesantren. Pertentangan ini tampak jelas, dengan yayasan yang cenderung berfokus pada keuntungan bisnis mereka, sehingga sering kali mengabaikan masalah serius yang terjadi di pesantren Al-qur'an X ini, seperti penurunan kualitas hafalan santri dsb.
Pokok permasalahannya ialah Yayasan lebih mementingkan keuntungan dari meningkatnya jumlah santri yang menetap di sana. Oleh karena itu, mereka gencar mempromosikan pesantren dengan istilah "Tahfidz Cepat". Namun, realitanya, metode menghafal yang cepat berdampak pada rendahnya kualitas hafalan yang dihasilkan. Program di sana seolah-olah hanya berfokus pada cara agar santri dapat menyelesaikan hafalan Al-Qur'an dengan cepat, meskipun dengan kualitas yang rendah. Hal ini tidak menjadi masalah bagi mereka selama santri dapat wisuda dengan cepat.
Sangat memprihatinkan..
Semakin hari semakin banyak orang yang memiliki ambisi kuat untuk segera wisuda, bukan untuk mutqin dalam hafalannya. Sehingga Hal ini semakin diperparah dengan standar yang rendah. Sebagian besar santri tidak memperhatikan kualitas hafalan mereka, asalkan mereka dapat wisuda lebih cepat.
Rata-rata mereka membutuhkan waktu sekitar dua tahun untuk menyelesaikan hafalan Al-Qur'an, baik dengan kualitas yang baik maupun tidak. Motivasi utama mereka adalah gelar "Hafidzoh 30 juz", yang sangat diperlukan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti beasiswa kuliah atau lainnya. Perlu diakui, hanya sedikit dari mereka yang menyadari pentingnya usaha untuk mencapai hafalan dengan kualitas dan standar yang baik, yang tentunya memerlukan waktu lebih lama daripada sekadar menyelesaikan wisuda.
Sayangnya, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki masalah tersebut. Karakter masyarakat yang cenderung individualis memperparah keadaan ini. Kurangnya kepekaan terhadap kondisi dan lingkungan tempat tinggal mereka membuat mereka abai terhadap kenyataan yang terjadi. Kebanyakan santri hanya mementingkan urusan pribadi dan fokus pada cara agar dapat wisuda lebih cepat lagi.
Kita seolah-olah dituntut untuk tidak peduli dengan krisis yang terjadi. Misalnya, jika ada seseorang yang berani menyuarakan masalah ini, respon dan tanggapan masyarakat seolah-olah tidak peduli dan acuh tak acuh. Mereka lebih sibuk mengurus diri sendiri.
Lantas.. solusi apa yang dapat saya lakukan untuk menghadapi situasi ini? Apakah cukup dengan berdiam diri dan hanya bisa menentangnya dalam hati?