Perspektif Syariat dan Toleransi; Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dan Pertemuan Spesial Masjid Istiqlal

Oleh : Ahmad Nawawi

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia pada tahun 2024 tepatnya 3 September 2024 menimbulkan berbagai diskusi mengenai hubungan antar agama. Kunjungan ini menuai berbagai argumentasi dan perspektif dikalangan masyarakat khususnya masyarakat muslim di Indonesia, dikarnakan kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia juga mengadakan pertemuan khusus dengan tokoh-tokoh Islam di Masjid Istiqlal pada kamis (5/9/2024) Jakarta, sebagian besar menganggap hal ini adalah bentuk simbol penting toleransi antar umat beragama dsb.


Namun tidak hanya itu, peristiwa ini juga menimbulkan perdebatan, opini, dan diskusi yg menjadi trending topik, terutama keterkaitan pandangan syariat mengenai interaksi fisik muslim dengan non-Muslim, serta pandangan lain yang lebih menekankan toleransi untuk menjaga keutuhan NKRI dan dasar-dasar Nasionalisme.


Pandangan pertama ialah Perspektif Syariat yakni Prinsip-prinsip dan Pandangan Ulama


Berbagai argumentasi berseliweran di internet bahkan tokoh agama juga ikut menyoroti dengan pandangan Clasik dari ulama salaf bahwa interaksi langsung antara Muslim dan non-Muslim, seperti berjabat tangan, berpelukan dan keharmonisan lain dalam konteks keagamaan, dianggap makruh menurut syariat. Pandangan ini dinukil dari mazhab Hanafi dan Hanbali, yang menyarankan agar seorang Muslim menghindari kontak fisik dengan non-Muslim kecuali dalam situasi tertentu, seperti menjaga hubungan baik dengan tetangga dsb. 


Sehingga dalam pandangan ini konteks pertemuan Paus Fransiskus dengan tokoh muslim Indonesia di Masjid Istiqlal adalah keharmonisan yg telah melampaui batas. pandangan ini juga memperingatkan bahwa interaksi tersebut dapat melanggar prinsip syariat yang menekankan kehati-hatian dan kewaspadaan dalam berinteraksi dengan non-Muslim, utamanya di tempat ibadah umat muslim. 


Dalam pandangan ini mereka menyebutkan bahwa Beberapa ulama dari Mazhab Maliki bahkan lebih tegas dan melarang interaksi semacam itu, dengan alasan bahwa syariat Islam menekankan pemisahan dalam hal-hal tertentu, termasuk interaksi fisik.


Pandangan tersebut juga menekankan terhadap kehati-hatian, sehingga dalam pandangan lain menimbulkan diskursus serius terhadap pengekangan toleransi atau pembatasan toleransi di negara demokrasi yg menganut dan menjunjung tinggi toleransi beragama.


Mereka dengan pandangan pertama berargumen bahwa menjaga akidah Islam harus tetap menjadi prioritas utama. Walaupun toleransi penting, ada batasan yang harus dihormati, terutama terkait simbol-simbol agama dan ritual keagamaan.


Pandangan selanjutnya ialah Perspektif Toleransi yakni Dialog Antaragama dan Keutuhan NKRI.


Sebaliknya, pandangan kedua ialah mereka yang menekankan terhadap pentingnya komunikasi dan toleransi antar agama demi untuk menjaga keutuhan NKRI. Mereka yg berpandangan semacam ini menyimpulkan bahwa Kunjungan Paus Fransiskus dianggap sebagai langkah penting dalam mempromosikan dialog damai serta harmoni antaragama, hal ini bukan semata hanya mengedepankan ego tatapi jauh dari itu. Pandangan ini menurut mereka tidak lain adalah untuk menjalin hubungan dan menjadi contoh nasionalisme murni yg mengedepankan keharmonisan beragama dalam satu negara.


Pendukung pandangan ini merujuk pada semangat Piagam Madinah, yang menunjukkan bahwa umat Islam dapat hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain selama hak dan kewajiban dipenuhi dengan adil. Pertemuan di Masjid Istiqlal dianggap sebagai simbol komitmen Indonesia terhadap kerukunan antaragama dan upaya global untuk mempromosikan perdamaian. Ini juga dianggap sebagai bukti bahwa umat Islam dapat berinteraksi dengan pemimpin agama lain tanpa mengorbankan identitas keagamaan mereka.


Paus Fransiskus menekankan pentingnya menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim dan konflik. Pendukung pandangan ini percaya bahwa dialog antar agama dapat mempromosikan persatuan dan stabilitas di Indonesia, serta menjaga pluralisme dan melindungi persatuan nasionalme. Mereka berpendapat bahwa menghindari interaksi dengan pemimpin agama lain dapat menimbulkan ketegangan sosial dan menghambat upaya perdamaian.


Kesimpulan yg mungkin saya tangkap dari kedua perspektif tersebut ialah Menjaga Keseimbangan antara Syariat dan Toleransi sangatlah penting. 


Dari sumber lain menyebutkan Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menampilkan dua wajah berbeda tentang hubungan antar agama dan negara. Pertama Paus Fransiskus sebagai tokoh agama katolik dunia dan yg kedua Paus Fransiskus Sebagai tokoh pimpinan negara.  Namun tidak menutup kemungkinan sebagai seorang muslim memang ada kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran syariat dalam berinteraksi dengan pemimpin agama lain. Tapi disisi lain ialah pandangan yang lebih menekankan toleransi untuk menjaga keutuhan NKRI dan mempromosikan perdamaian dan harmoni antara agama juga menimbulkan skop yg perlu digaris bawahi mengingat adanya konflix agama sampai saat ini belum tersudahi.


Siang ini kita sebagai umat Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan untuk menjaga keseimbangan, antara prinsip-prinsip syariat dan tentunya-tuntutan toleransi antar agama. Meskipun pandangan tentang interaksi antaragama dapat berbeda, ada kesepakatan bahwa dialog dan kerja sama antar umat beragama sangat penting untuk menjaga perdamaian dan stabilitas nasional meskipun hal ini menuai pro-kontra, demi menyoroti pentingnya toleransi dan komitmen terhadap perdamaian dunia.


Wallahu A'lam..

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Ads Section