PAHLAWAN DENGAN KURSI RODA AJAIBNYA
Penulis: Nwwi Effend
Cerpen ini juga di muat di buku yg berjudul "Menembus Mimpi; Saat Mimpi Menjadi Nyata" yang di terbitkan oleh Waw Media (Ig: @waw_media.id)
Aku ingat dengan jelas hari pertama aku melangkahkan kakiku di SMA Harapan Bangsa. Pagi itu udara sejuk menyapaku, membawai aroma baru yang memberikan rasa gugup sekaligus antusias, di tengah gemuruh siswa baru yang berdesakan di gerbang sekolah.
Disana, mataku tertuju pada sosok spesial yang berbeda. yakni Seorang wanita diatas kursi roda, dengan senyum hangat yang terpancar dari wajah teduhnya, sedang menyambut kami para siswa-siswi baru. Kerudung hitam dan kacamata bulat memberikan kesan bijaksana. Namanya Bu Zahra. Tak kusangka, dia adalah wali kelasku.
“Bagaimana bisa seseorang dengan keterbatasan fisik bisa menjadi guru?” Pikiran naif seorang remaja berumur 16 tahun membuatku sedikit meragukan kemampuannya. Namun, Bu Zahra membuktikan bahwa aku salah besar.
Setiap pagi, Bu Zahra selalu datang lebih awal. Suara khas kursi rodanya berderit pelan menyusuri koridor sekolah, menciptakan melodi familiar yang segera kami kenali. Dia menyapa setiap siswa dengan senyum hangat, memancarkan energi positif yang menular.
"Selamat pagi anak-anak... Hari ini adalah hari pertama kalian disekolah, semoga hari ini menjadi hari yang indah bagi kalian".
Sapanya dengan suara lembut penuh semangat. Kalimat pertama itu yang menjadi api penyemangat bagi kami semua.
Di sekolah, Bu Zahra adalah guru terhebat yang pernah aku temui. meski aktivitasnya terbatas kursi roda, suaranya lantang menggema ke seluruh sela-sela ruangan, sehingga hal itu selalu menarik perhatianku dan siswa lainnya, bahkan siswa ternakal sekalipun.
Dia tidak hanya mengajarkan kami tata bahasa dan sastra yg baik, tapi dia juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tak ternilai harganya.
"Anak-anakku.." dia berkata, dengan penuh semangat.
"kehidupan itu seperti sebuah tulisan, Kalianlah penulisnya. Meski terkadang ada kata yang salah ketik atau kalimat paragraf yang berantakan, jangan pernah berhenti menulis. Karena di akhir cerita, yang terpenting adalah makna yang kalian sampaikan."
Kalimat itu tertanam dalam benakku sampai saat ini, kalimat itu juga menjadi kompas yang menuntunku di setiap langkah kehidupan.
Suatu ketika, dengan rasa penasaran yang tak terbendung, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada Bu Zahra ;
“bu, bagaimana bisa ibu menjadi guru dengan kondisi seperti ini?”
Bu Zahra hanya tersenyum, matanya menerawang jauh seolah menembus dinding kelas, melihat kenangan yang tersimpan rapi di sudut ingatannya.
"Dulu, ada banyak orang yang meragukan mimpi saya, Nak. Bahkan, setelah lulus kuliah pun, tidak ada sekolah yang mau menerima saya sebagai guru karena kondisi fisik saya."
Sungguh, tak ku sangka Bu Zahra, sosok yang begitu kuat dan inspiratif di mataku, dia pernah mengalami penolakan seperti itu. Rasanya sulit dipercaya ada orang yang tega menolak semangat mengajar Bu Zahra hanya karena dia berbeda.
“Tapi saya tidak menyerah,” kata Bu Zahra sembari tersenyum.
“Saya juga membuka taman baca di kampung saya, Saya mengajari anak-anak dengan sukarela, karna Saya yakin, dengan terus berbuat baik dan berusaha, suatu hari nanti keajaiban akan datang”
”Dan yakinlah, keajaiban itu datang dan lewat dengan cara yang ajaib”
“Saya punya seorang teman sekolah SMA. Ia sering menjahili saya dulu waktu di sekolah.” Mata Bu Zahra terlihat berkaca-kaca. Tapi ia segera tersenyum bahagia.
“Namun, kehidupan ini penuh kejutan, dia sudah jadi pengusaha kaya sekarang.”
Aku mendengarkan dengan seksama, penasaran dengan arah cerita ini.
"Suatu hari, dia melihat perjuangan saya di Liputan saluran TV lokal tentang taman baca yang saya kelola. Dan itu mengubah segalanya." Bu Zahra mengambil napas dalam-dalam, seolah masih merasa tidak percaya dengan apa yang akan dia ceritakan selanjutnya.
“Dia menelepon saya. Meminta maaf atas perlakuannya yang selama ini. Dan yang lebih penting lagi, dia melakukan ini semua atas dorongan untuk membantu mewujudkan mimpikku menjadi guru.”
Air mataku mulai berlinang. Karena keberhasilan Bu Zahra bukanlah hanya sebuah perjuangan, tetapi segalanya juga adalah tentang pengampunan dan perubahan.
“Kami mendirikan sekolah ini bersama-sama, SMA Harapan Bangsa, sekolah inklusi pertama dikota ini. Di sini, semua anak, tidak peduli seperti apa keadaannya, mereka tetap dapat belajar dan bermimpi di lingkungan bebas diskriminasi.”
"Lihat, Nak.." kata Bu Zahra sambil mengedarkan telunjuknya ke sekeliling kelas.
Matanya memancarkan kebanggaan dan kasih sayang yang tulus.
"Di sini, kita semua berbeda. Ada yang berkursi roda seperti saya, ada yang tuna rungu, ada yang tuna netra, dan ada yang normal sepertimu. Tapi kita semua punya punya mimpi."
Aku melihat sekeliling, seakan alam menyadarkanku. Di kelas ini, Ada Rani dengan alat bantu mendengarnya, Farhan membaca dalam huruf braille-nya, dan Bu Zahra dengan kursi rodanya. berkat kalimat Bu Zahra aku mampun melihat keterbatasan mereka bukan lagi sebagai orang yang lemah tetapi aku melihat mereka sebagai orang-orang pilihan yang spesial.
"Anak-anakku.. Perbedaan itu bukan untuk disesali, tapi untuk disyukuri," ucap Bu Zahra.
"Dari perbedaan itulah kita belajar untuk tumbuh, dan kita menjadi manusia yang spesial."
Tanpa kusadari Air mataku mulai menetes. Aku melihat Bu Zahra di bawah cahaya yang berbeda. Dia bukan hanya seorang guru; dia adalah pejuang sekaligus pahlawan sesunnguhnya, sehingga aku hanya bisa melihat kelebihannya dari pada keterbatasan.
Waktu berjalan sangat cepat. Tak ku sangka sudah 7 tahun lalu aku mulai bersekolah di SMA Harapan Bangsa. Disana Setiap hari aku belajar hal baru, bukan hanya tentang mata pelajaran dan kurikulum sekolah, tetapi juga tentang arti sebuah kehidupan itu sendiri. Bu Zahra mengajarkan ku tentang hal luar biasa yakni ketekunan, perbedaan, dan Mimpi besar yang tak terbatas.
Aku ingat saat kami belajar puisi. Bu Zahra tidak hanya mengajarkan kami tentang majas dan peribahasa, tapi juga tentang bagaimana menuangkan jiwa ke dalam kata-kata.
“Puisi adalah jendela jiwa,” katanya.
“Kamu bisa mengekspresikan hal-hal yang tak terwakili dalam kata-kata biasa dengan puisi.”
Dia bercerita tentang karakter novel sehingga membuat kami menganalisanya, ia juga mengatakan bahwa kami harus mengenali diri sendiri agar lebih baik. ”Seperti karakter novel, semua orang tidak terkecuali memiliki kisahnya tersendiri" kata Bu Zahra.
“Yang membuat mereka istimewa adalah bagaimana mereka menghadapi tantangan. Anak-anakku, dan kalian harus dan harus lebih kuat.”
3 tahun di SMA Harapan Bangsa, dimana saat itu hari kelulusan pun tiba. Aula sekolah dipenuhi siswa dengan toga dan orang tua yang bangga. Di tengah riuhnya obrolan audien itu, keluarlah sosok spesial dari pojok pintu, dia adalah Bu Zahra dengan Kursi rodanya yang saat itu dihias dengan pita dan bunga, membuatnya tampak seperti ratu dan singgasananya yang kebijaksanaan.
Bu Zahra berdiri (atau lebih tepatnya, duduk) di podium, memberikan pidato perpisahan kepada semua siswanya. Semua mata tertuju padanya, menanti kata-kata yang kami tahu akan membekas seumur hidup.
“Semua anak-anakku yang ibu sayangi,” ujarnya dengan suara yang gemetar dengan emosi.
“Sudah tiga tahun berlalu, dan saat ini, sudah saatnya kalian menapak ke dunia yang lebih besar. Dunia yang tak selalu ramah, namun juga penuh peluang untuk siapa pun yang berani bermimpi.”
beliau berhenti sejenak, matanya menyapu seluruh ruangan, melihat ke arah siswa-siswa seolah ingin mengingat wajah setiap muridnya.
“Ketahuilah, keterbatasan itu hanya ada di pikiran orang-orang yang menyerah. Kalian mungkin akan ditolak, diejek, bahkan didiskriminasi. Tapi jadikanlah itu sebagai pembangkit semangat kalian.” Air mata mulai mengalir di pipi banyak siswa, termasuk aku.
Bu Zahra melanjutkan, “Kalian harus menjadi lilin yang menyala dalam kegelapan, karena dengan sinar, kalianlah yang menerangi dunia.”
Pada saat itu, aku menyadari bahwa Bu Zahra telah mengajarkan kepada kami lebih dari pada mata pelajaran apa pun. Dia mengajarkan tentang keberanian, keihklasan, impian, dan tekat yang kuat.
bertahun-tahun lama kisah itu masih melekat dalam benakku. Saat ini aku adalah seorang guru. Setiap kali aku berdiri di depan kelas, aku selalu teringat Bu Zahra. Tentang Kegigihanya, ketulusannya, dan kemampuannya melihat potensial dalam diri setiap murid selalu menjadi inspirasi bagiku. Sebisa mungkin, aku mencoba menerapkan apa yang telah aku pelajari darinya.
Hari ini aku bercerita tentang kisah paling inspiratif di SMA Harapan Bangsa, dimana perbedaanlah yang membuat kita tumbuh.
Mungkin Bu Zahra mengajar dari kursi rodanya, tapi bagi siswa-siswinya dia laksana pahlawan yang bisa terbang melewati segala masalah, dan menuntun kita untuk terus bermimpi tanpa ada batasan.
Selang beberapa tahun kemudian, aku datang ke SMA Harapan Bangsa untuk sekedar bersilaturrahmi. SMA Harapan Bangsa Sekolah yang dulu aku kenal kini sudah jauh berkembang, di sana Aku melihat foto Almarhum Bu Zahra terpangpang anggun dalam aula besar, lengkap dengan kata-kata kesukaannya yaitu “Hidup itu seperti karangan. Kalianlah penulisnya." Selesai.