DEMOKRASI BERDARAH
Oleh: Ahmad Nawawi Ef
Bayangkan, sebuah nyawa melayang hanya karena perbedaan pandangan dan pilihan politik. Jimmy Sugito Putra tak menyangka bahwa pilihan politiknya akan berujung pada akhir tragis. Pada hari Minggu di bulan November 2024, dalam sebuah rekaman vidio yg beredar, segerombol pria bersenjata dengan celurit terhunus telah mengubah hidupnya menjadi sejarah kelam demokrasi di pulau Madura.
(CAROK) Hari ini kita paham, bahwa carok bukan lagi sekadar tradisi yang menjunjung nilai harga diri, melainkan monster berkepala politik yang siap menerkam siapa pun. Di manapun khususnya ditanah Madura, di mana sejarah keberanian mengalir dalam darah, kekerasan telah mencabik-cabik martabat demokrasi. Mungkin tragedi Jimmy sekarang ini hanyalah salah satu korban dari kebrutalan oknum2 yg bisa kita sebut gengster (Bejingan:red Madura) di panggung kontestasi politik.
Sangat miris dan sedih, Pilkada yg harusnya menciptakan sebuah harmoni dalam perbedaan dan sportifitas persaingan, justru tak ubahnya seperti Arena Gladiator Modern. Bukan pertarungan ide dan gagasan, melainkan pertumpahan darah.
Kelompok-kelompok tertentu begitu mudah menggunakan kekerasan sebagai bahasa utama. Celurit berbicara lebih keras dari argumen, intimidasi mengalahkan demokrasi. Hmm..
Institusi negara?? Tidak hanya kali ini, tetapi dari sebelum2nya sebelum isu ini meledak hingga akhirnya terdapat korban seperti Jimmy. Institusi Negara dan Kepolisian masih gagal menciptakan "Pesta Demokrasi yang Aman" sementara beberapa oknum keamanan hanya berkutat dengan kalimat "Sedang Kami Usahakan", hingga akhirnya sekarang barulah nampak bahwa ada nyawa yg perlu dikorbankan. Dalam kontek sebelumnya, Tak ada jaminan keamanan, tak ada jaminan perlindungan bagi mereka yang berbeda pandangan. Impunitas telah menjadi racun sistemik yang merusak sendi-sendi demokrasi.
Dampaknya jauh lebih dalam dari sekadar hilangnya satu nyawa. Trauma sosial menggerogoti kepercayaan masyarakat. Setiap pembunuhan politik adalah pukulan telak bagi harapan demokrasi. Masyarakat perlahan kehilangan kepercayaan pada sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Transformasi bukan sekadar mimpi, tapi kebutuhan mendesak. Kita perlu merobek habis budaya kekerasan, membangun ulang sistem yang menghargai perbedaan. Bukan dengan ceramah panjang, tapi aksi nyata. Pendidikan politik yang humanis, pengawasan ketat, dan konsekuensi tegas bagi pelaku kekerasan.
Pantas jika kita bertanya: "Sampai kapan darah masih menjadi tinta demokrasi kita?"
Jimmy Sugito Putra tak boleh mati sia-sia. Ia harus menjadi titik balik, alarm keras bahwa demokrasi membutuhkan pembersihan total. Demokrasi sejati lahir dari dialog, bukan darah. Dari saling mendengar, bukan saling membungkam. Dari rasa hormat, bukan rasa takut.
Wallahu A'lam..
Artikel ini bukan sekadar tulisan, tapi seruan nurani untuk pembaharuan demokrasi yang lebih bermartabat.